Noted: Tulisan ini adalah opini lengkap yang telah dipublikasikan dalam bentuk wawancara di kompas.com <https://biz.kompas.com/read/2025/10/03/175519628/pengamat-ruu-pengelolaan-ruang-udara-indonesia-harus-selaras-dengan-konvensi>

Bergolaknya isu keamanan negara di beberapa kawasan telah memancing tanggapan beberapa negara untuk memperkuat pertahanan udaranya, tak terkecuali Indonesia. Indonesia menyikapi perkembangan keamanan dunia, diantarnya membuat banyak kesepakatan pembelian pesawat udara tempur terbaru dengan berbagai jenis varian dari pabrikan pesawat tempur yang tersebar di beberapa negara. Tidak berhenti di sana, Kementrian Pertahanan juga mengajukan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Ruang Udara (RUU PRU) yang saat ini sedang dalam tahap konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menjadi Undang-Undang (UU).
Nomenklatur RUU
Umumnya, secara operasional, penggunaan ruang udara suatu negara dapat digunakan untuk dua hal aktivitas, yaitu: pengunaan untuk aktivitas sipil dan penggunaan untuk aktivitas militer. Sifat karakteristik ruang udara yang dual use ini melahirkan prinsip kehati-hatian yang tinggi oleh dunia internasional ketika merumuskan Konvensi Chicago tentang Penerbangan Sipil Internasional di tahun 1944, di tengah gejolak berlangsungnya Perang Dunia II. Keberhasilan disahkannya Konvensi ini merupakan wujud kesepakatan terbesar dunia hingga saat ini, dimana 193 negara menjadi peserta Konvensi dari total 195 jumlah negara di seluruh dunia, termasuk di dalamnya Indonesia yang juga merupakan peserta dari Konvensi Chicago. Artinya, Konvensi Chicago merupakan rujukan utama bagi kebijakan negara anggota dalam merumuskan aturan nasionalnya terkait pengelolaan ruang udara untuk aktivitas sipil.
Saat ini, pengaturan terkait aktivitas sipil di ruang udara nasional Indonesia diatur dalam UU Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009. Dalam sejarah pembentukannya, lahirnya UU ini tak lepas dari evaluasi terhadap UU 15/1992, yang pada saat itu dianggap sudah tidak mampu mengakomodir aktivitas sipil nasional di ruang udara Indonesia. Namun, hal utama dari lahirnya UU ini adalah evaluasi terhadap konsistensi UU nasional Indonesia terhadap ketentuan internasional yang berdampak pada keselamatan penerbangan sipil, yang merupakan tanggung jawab dari Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Perhubungan.
Lahirnya RUU PRU atas inisiasi Kementrian Pertahanan secara nomenklatur melahirkan sebuah pertanyaan, mengingat tata pemerintahan nasional telah jelas membagi kedudukan dan tupoksi lembaga-lembaga pemerintahan. Nomenklatur ‘pengelolaan ruang udara’, apalagi mencakup pengaturan aktivitas penerbangan sipil, hendaknya menjadi sebuah inisiasi dari Kementrian sipil. Hal ini tak lepas agar produk legislasi nasional melahirkan koherensi antara aturan sipil nasional dan internasional. Sebagaimana diketahui secara umum, bahwa terdapat kewajiban hukum internasional bagi negara-negara yang telah meratifikasi ataupun mengadopsi ketentuan internasional untuk melahirkan produk hukum nasional yang tidak saling bertentangan. Hal ini sesuai dengan isi amanah Pembukaan UUD 1945, untuk ikut serta dalam ketertiban dunia.
Kontroversial Isu Hukum Berdasarkan Konvensi Chicago
Hingga saat ini, Konvensi Chicago tidak menetapkan batas vertikal kedaulatan ruang udara suatu negara. Ketiadaan pengaturan ini dapat ‘diartikan’ bahwa negara memiliki dua pilihan yaitu tidak menetapkan secara hukum atau melakukan penetapan secara unilateral. Pasal 6 Ayat 2 RUU PRU menetapkan batas vertikal wilayah udara Indonesia setinggi 110 km. Yang artinya RUU ini telah secara unilateral menetapkan diri mengambil posisi untuk mengatur hal ketentuan di luar Konvensi Chicago, mengikuti ketentuan Australia melalui Australian Space Treaty Act 1998 dan Amerika Serikat melaui Space Command yang menetapkan ruang udara nasionalnya setinggi 100 km dari permukaan laut. Berlanjut di Pasal 39, RUU ini kemudian menetapkan sebuah area baru ‘subantariksa Indonesia’ yang dalam ketentuan bahasanya berpotensi terhadap penafsiran akan klaim sepihak atas area yang bagian dari ruang angkasa menjadi bagian dari kedaulatan Indonesia.
Lebih lanjut, RUU PRU ini telah menambahkan area ruang udara baru yang tidak pernah diatur dalam Konvensi Chicago seperti termaktub pada Pasal 8 tentang ‘ruang udara internasional di atas yurisdiksi Indonesia’. Saat ini, Konvensi Chicago hanya mengakui ruang udara dibagi dua, yaitu ruang udara negara yang memberlakukan kedaulatan penuh di atas wilayah darat dan laut territorial suatu negara serta ruang udara internasional di luar daratan dan laut territorial suatu negara. Penambahan jenis area ruang udara ini jelas tidak dikenal dalam rezim hukum udara yang kemudian akan berpotensi melahirkan sebuah kebingungan dalam hukum internasional.
Seperti disampaikan sebelumnya, nomenklatur RUU PRU yang lebih bersifat sipil melahirkan sebuah pertanyaan terkait ketentuan yang mengatur Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) di ruang udara internasional, seperti yang tertuang pada Pasal 37. Penentuan ADIZ bukan merupakan konsep yang dikenal dalam Konvensi Chicago, melainkan sebuah praktik unilateral suatu negara. Bahwa Konvensi Chicago secara jelas menjamin freedom of overflight di ruang udara internasional, yang mana penetapan ADIZ secara unilateral dapat dipandang sebagai upaya perluasan yurisdiksi yang tidak pernah dikenal dalam Konvensi Chicago.
Namun hal yang sangat krusial yang menjadi perhatian utama dari penulis adalah ketentuan Pasal 7, 40 hingga 41 yang mengatur terkait perizinan pesawat udara sipil asing berjadwal. Sangat jelas dipahami, bahwa Konvensi Chicago di Pasal 5 dan Pasal 6 membedakan antara penerbangan sipil internasional berjadwal (schedule) dan penerbangan tidak berjadwal (non-schedule). Terkhusus pengaturan penerbangan sipil asing berjadwal, jamak dilakukan secara internasional sebuah negosiasi untuk menyusun bilateral agreement. Isi dari kesepakatan bilateral tersebut kemudian menjadi landasan utama bagi pesawat asing tersebut untuk bisa melintas dan menaikkan serta menurunkan penumpang maupun barang. Perjanjian ini juga sebagai landasan penentuan freedom of the air yang akan diberlakukan oleh kedua negara, selain kesepakatan terkait jumlah traffic maupun penumpang dan kargo. Pengenaan izin pesawat asing berjadwal layaknya pesawat asing tidak berjadwal, selain tidak jamak diberlakukan secara internasional, ketentuan ini berpotensi besar berdampak terhadap Indonesia, akibat tindakan serupa yang dilakukan oleh negara lain kepada Indonesia pada operasional Perusahaan maskapai nasional berjadwal kita yang memiliki rute penerbangan internasional.
Terakhir, penegakkan hukum di ruang udara nasional akibat pelanggaran hukum yang terjadi hendaknya dalam RUU ini ditulis dengan tidak melahirkan sebuah interpretasi bahwa tindakan pemaksaan dapat berupa penggunaan senjata terhadap pesawat sipil. Bagaimanpun juga, klausula pada Pasal 41 Ayat (4) yaitu ‘tindakan lain yang diperlukan’ terhadap pesawat sipil yang melanggar hukum di ruang udara nasional dapat melahirkan multitafsir yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 3bis Konvensi Chicago. Kita sepakat bahwa ruang udara memiliki tempat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara, disampinng aspek ekonomi. Menjaga kedaulatan ruang udara terhadap aktivitas pesawat udara sipil hendaknya memperhatikan kesesuaian pengaturan penerbangan sipil internasional. Bagaimanapun juga, konektivitas penerbangan sipil internasional yang selamat dan aman merupakan dasar bagi organisasi penerbangan internasional (ICAO) untuk mengevaluasi dan mengaudit tingkat keselamatan dan keamanan penerbangan negara anggotanya. Audit dan evaluasi ini dimulai dari bagaimana suatu negara mengatur dan merumuskan sebuah kebijakan berdasarkan hukum nasionalnya yang selaras dengan prinsip-prinsip hukum penerbangan internasional.

Deputy Director of Centre for Air and Space Policy (CASP); Lecturer at Faculty of Law, Universitas Airlangga; Guest Lecturer at Surabaya Aviation Polytechnic; Former Director of Airlangga Institute of International Law Studies (AIILS), Faculty of Law Universitas Airlangga; Former Director of Centre for Air and Space Law (CASL), Faculty of Law Universitas Airlangga; various former guest lecturers at Aviation School of Training Centre, Indonesian Ministry of Transportation in Papua and Palembang; Former Guest Lecturer at Faculty of Law, University of Muhammadiyah Surabaya.
